Perkembangan Kurikulum Matematika Sekolah

No comments
    Perkembangan kurikulum matematika sekolah, khususnya ditinjau dari implementasi dan aspek teori belajar yang melandasinya, merupakan faktor yang sangat menarik dalam pembicaraan tentang pendidikan matematika.  Hal ini dapat difahami sebab perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran matematika sekolah tidak terlepas dari adanya perubahan pandangan tentang hakekat matematika dan belajar matematika. Sebagai akibatnya, tidaklah mengherankan apabila terjadi perubahan kurikulum, maka berubah pulalah proses pembelajaran di dalam kelas.



    Sejak tahun 1968, di Indonesia telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum matematika sekolah. Berdasarkan tahun terjadinya perubahan untuk tiap kurikulum, maka muncullah nama-nama kurikulum berikut: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1996, dan Kurikulum 1999. Selain itu, Sebelum muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pada tahun 2002 telah disusun sebuah kurikulum yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi.   Berdasarkan literatur yang ada, ciri-ciri pembelajaran matematika pada kurikulum 1968 antara lain adalah sebagai berikut:
a. Dalam pengajaran geometri, penekanan lebih diberikan pada keterampilan berhitung, misalnya menghitung luas bangun geometri datar atau volume bangun geometri ruang, bukan pada pengertian bagaimana rumus-rumus untuk melakukan perhitungan tersebut diperoleh (Ruseffendi, 1985, h.33). b. Lebih mengutamakan hafalan yang sifatnya mekanis daripada pengertian (Ruseffendi, 1979, h.2). c. Program berhitung kurang memperhatikan aspek kontinuitas dengan materi pada jenjang berikutnya, serta kurang terkait dengan dunia luar (Ruseffendi, 1979, h.4).
d. Penyajian materi kurang memberikan peluang untuk tumbuhnya motivasi serta rasa ingin tahu anak (Ruseffendi, 1979, h.5).

   Jika dilihat dari ciri-cirinya,  pengajaran matematika pada kurikulum ini dimulai dengan penjelasan singkat yang disertai tanya-jawab dan penyajian contoh, serta dilanjutkan dengan pengerjan soal-soal latihan baik yang bersifat prosedural atau penggunaan rumus tertentu.
Dalam proses pengajaran tersebut, pengerjaan soal-soal latihan merupakan kegiatan yang diutamakan dengan maksud untuk memberi penguatan pada apa yang sudah dicontohkan guru di depan kelas. Dengan demikian, latihan untuk menghafalkan fakta dasar, algoritma, atau penggunaan rumus-rumus tertentu dapat dilakukan melalui pengerjan soal-soal yang diberikan.  Menurut Skinner (dalam Ruseffendi, 1988, h.171),  untuk menguatkan pemahaman siswa tentang apa yang baru dipelajari, maka setelah terjadinya proses stimulus-respon yang antara lain berupa tanya-jawab dalam proses pengajaran, harus dilanjutkan dengan memberikan penguatan antara lain berupa latihan soal-soal. Dengan demikian teori belajar yang dominan digunakan dalam implementasi kurikulum matematika 1968 adalah teori belajar dari Skinner.

    Pada tahun 1975, terjadi perubahan yang sangat besar dalam pengajaran matematika di Indonesia yang ditandai dengan dimasukannya matematika moderen ke dalam kurikulum 1975. Menurut Ruseffendi (1979, h.12-14), matematika moderen tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Terdapat topik-topik baru yang diperkenalkan yaitu himpunan, geometri bidang dan ruang, statistika dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno,  dan penulisan lambang bilangan nondesimal. Selain itu diperkenalkan pula konsep-konsep baru seperti penggunaan himpunan, pendekatan pengajaran matematika secara spiral, dan pengajaran geometri dimulai dengan lengkungan.
b. Terjadi pergeseran dari pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan ke pengajaran yang mengutamakan pengertian.
c. Soal-soal yang diberikan lebih diutamakan yang bersifat pemecahan masalah daripada yang bersifat rutin.
d. Ada kesinambungan dalam penyajian bahan ajar antara Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan.
e. Terdapat penekanan kepada struktur.
f. Program pengajaran pada matematika moderen lebih memperhatikan adanya keberagaman antar siswa.
g. Terdapat upaya-upaya penggunaan istilah yang lebih tepat.
h. Ada pergeseran dari pengajaran yang berpusat pada guru ke pengajaran yang lebih berpusat pada siswa.
i. Sebagai akibat dari pengajaran yang lebih berpusat pada siswa, maka metode mengajar yang lebih banyak digunakan adalah penemuan dan pemecahan masalah dengan teknik diskusi.
j. Terdapat upaya agar pengajaran matematika dilakukan dengan cara yang menarik, misalnya melalui permainan, teka-teki, atau kegiatan lapangan.

    Berdasarkan ciri-ciri pengajaran matematika moderen di atas, maka teori belajar yang dipergunakan lebih bersifat campuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi (1988, h.178) yang menyatakan bahwa teori belajar-mengajar yang dipergunakan pada saat itu adalah campuran antara teori pengaitan dari Thorndike, aliran psikologi perkembangan seperti teori Piaget, serta aliran tingkah laku dari Skinner dan Gagne. Namun demikian, Ruseffendi selanjutnya menambahkan bahwa teori yang lebih dominan digunakan adalah aliran psikologi perkembangan seperti dari Piaget dan Bruner sebab yang menjadi sentral pengajaran matematika adalah pemecahan masalah.   Perubahan dari Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984 sebenarnya tidak terlalu banyak baik dari sisi materi maupun cara pengajarannya. Perbedaan utama dengan kurikulum sebelumnya, pada Kurikulum 1984 ini materi pengenalan komputer mulai diberikan. Menurut Ruseffendi (1988, h.102), dimasukannya materi komputer ke dalam kurikulum matematika sekolah merupakan suatu langkah maju. Hal ini dapat difahami, karena penggunaan alat-alat canggih seperti komputer dan kalkulator dapat memungkinkan siswa untuk melakukan kegiatan eksplorasi dalam proses belajar matematika mereka baik dengan menggunakan pola-pola bilangan maupun grafik.  Jika dilihat dari ciri-cirinya  yang tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya, maka teori belajar yang digunakan pada pengajaran matematika kurikulum 1984 ini juga lebih bersifat campuran antara teori pengaitan, aliran psikologi perkembangan, dan aliran tingkah laku.

   Pada tahun 1994 terjadi lagi perubahan terhadap kurikulum pendidikan sekolah mulai tingkat SD sampai SMU. Pada bidang matematika, terdapat beberapa perubahan baik dari sisi materi maupun pengajarannya. Yang menjadi bahan kajian inti untuk matematika sekolah dasar adalah: aritmetika (berhitung),  pengantar aljabar, geometri, pengukuran, dan kajian data (pengantar statistika). Pada kurikulum matematika SD ini, terdapat penekanan khusus pada penguasaan bilangan (number sense) termasuk di dalamnya berhitung. Untuk SLTP, bahan kajian intinya mencakup: aritmetika, aljabar, geometri, peluang, dan statistika. Dalam kurikulum ini terdapat upaya untuk menanamkan pemikiran deduktif yang ketat melalui struktur deduktif terbatas pada sebagian bahan geometri. Materi matematika untuk SMU terdapat sedikit perubahan yakni dimasukannya pengenalan teori graf yang merupakan bagian dari matematika diskrit.  Berdasarkan ciri-ciri yang dimiliki kurikulum matematika sekolah tahun 1994, perubahan yang sangat mendasar terjadi di sekolah dasar. Perubahan tersebut adalah adanya penekanan khusus yang diberikan pada penguasaan bilangan, termasuk di dalamnya berhitung. Implikasi dari perubahan ini, adalah digunakannya kembali secara dominan teori belajar dari dari Skinner. Sementara itu, pengajaran matematika untuk tingkat SLTP dan SMU nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.

   Dengan demikian untuk tingkat SLTP dan SMU teori belajar yang digunakan dalam proses belajar-mengajar masih bersifat campuran dengan dominasi ada pada penerapan aliran psikologi perkembangan.     Sebagai langkah penyempurnaan pada Kurikulum 1994, terjadi sejumlah reduksi serta restrukturisasi materi bahan ajar sehingga muncul Kurikulum 1994. Sebagai contoh, beberapa bagian dari pokok bahasan himpunan di SLTP dihilangkan, dan pengantar teori graf di SMU juga dihilangkan. Selain itu, terdapat juga perubahanperubahan kecil dan penyusunan kembali urutan penyajian untuk pokok-pokok bahasan tertentu. Selain dari hal tersebut, sebagian besar dari materi kurikulum 1999 hampir sama dengan kurikulum 1994. Dengan demikian, teori belajar yang digunakan pada kurikulum 1999 ini masih sama dengan yang digunakan pada implementasi kurikulum sebelumnya.

   Pada tahun 2002, Pusat Kurikulum mengeluarkan dokumen kurikulum baru yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa ciri penting dari kurikulum tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Karena kurikulum ini dikembangkan berdasarkan kompetensi tertentu, maka kurikulum 2002 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
b. Berpusat pada anak sebagai pengembang pengetahuan.
c. Terdapat penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah;  kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan mengkomunikasikan gagasan secara matematik.
d. Cakupan materi untuk sekolah dasar meliputi: bilangan, geometri dan pengukuran, pengolahan data, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
e. Cakupan materi untuk SLTP meliputi: bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, peluang dan statistika, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
f. Cakupan materi untuk SMU meliputi: aljabar, geometri dan pengukuran, trigonometri, peluang dan statistika, kalkulus, logika matematika, pemecahan masalah, serta penalaran dan komunikasi.
g. Kurikulum berbasis kompetensi ini secara garis besarnya mencakup tiga komponen yaitu kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar.
h. Kemampuan pemecahan masalah serta penalaran dan komunikasi bukan merupakan pokok bahasan tersendiri, melainkan harus dicapai melalui proses belajar dengan mengintegrasikan topik-topik tertentu yang sesuai.

    Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum berbasis kompetensi ini memuat perubahan yang cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan bahwa dalam proses belajar, anak dianggap sebagai pengembang pengetahuan. Selain itu, adanya penekanan pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah; berfikir logis, kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan secara matematik, maka teori belajar yang dominan digunakan kemungkinannya adalah aliran psikologi perkembangan serta konstruktivisme. Dalam penerapannya, guru antara lain harus mampu menciptakan suatu kondisi sehingga proses asimilasi dan akomodasi seperti yang dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain itu, guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman kemampuan di antara siswa sehingga dengan kondisi tertentu yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing siswa dapat berkembang secara optimal.

No comments :

Post a Comment